Senin, 27 Juli 2015

RAJA WALI 
(tak Pernah ingkar janji)
***

Mataku nanar mencari senyummu di angkasa, tak tampak
kucoba mengalihkan mataku ke embun yang lewat, tak juga ada
begitu pun di puncak bukit, dan di pohon-pohon tinggi yang menjulang...

kualihkan pandanganku ke ombak lautan,
dan berusaha menerobos hingga ke dasar laut
untuk memastikan apakaH senyuM tertinggal di sana
...Tak ada!
aku pun memasrahkan hati ini melenggang sendiri,
tanpa mu, tanpa senyummu, dan tanpa detak jantungmu.
selamanya...
Ternyata, dan ini yang mengganggu pikiranku,
dan menyebabkan symphoni yang ada di kalbu mengeluarkan nada yang tak seiring di tubuhku,
engkau telah meracuni pikiranmu, dan mendefenisikan diriku sebagai bukan aku...Ah,
...
(Aku tetaplah aku yang akan melangkah dengan hatiku dan tidak akan silau dengan apa pun yang menggodaku di kiri-kanan, di depan-belakang, karena aku tahu siapa aku, mahkota ku, akan terbalut dengan kesucian hati, dan trus membahagiakanku dengan ikrar, ENGKAU DAN AKU, SATU ADANYA, DAN TIDAK ADA ANTARA)
***
Rap ta endehon ma
...di antara, hatimu-hatiku
...terbentang lilin yang tinggi,
tak satu jua, jendela di sana
agar ku memandangmu.
Dior-dior

BUKAN SEKEDAR NONING vs HOHAT

Miskin itu tidak dosa.

Tapi miskin berpotensi menimbulkan dosa. Bukan apa-apa, jika perut lapar karena tidak punya uang, maka niat mencuri makanan untuk mengisi perut akan muncul, dan mungkin mencuri menjadi salah satu pilihan, kalau ke sana-sini tidak ada lagi yang bersedia memberi makanan

Umar bin al-Khattab Penguasa di zaman dulu, membebaskan seorang pencuri dari hukuman, jika mencuri makanan hanya sebatas mengisi perutnya pada saat itu dan memakan makanan itu di tempat itu pula. Tapi jika ybs membawa makanan ke tempat lain, dengan maksud untuk persediaan perutnya ketika lapar lagi, maka kepadanya dikenakan SANKSI oleh Penguasa, dengan cara memotong jari tangan pelaku.
***
Mengemis, memang bukanlah perbuatan mulia. Tentu saja, jika pengemisan dilakukan oleh latar kemalasan bekerja untuk mendapatkan hasil. Dan tampaknya, sudah semacam konsensus, di mana hampir semua orang menghinakan orang yang melakukan pekerjaan ini. Tapi sekedar informasi—saya lupa namanya, dulu, seorang kaya raya dari USA, menghibahkan semua hartanya ke sebuah lembaga yang menyantuni orang miskin dan setelah itu, dia bermigrasi ke Siam dan menjadi pengemis di sana.

Agak ekstrim, jika ada pula yang memberi pendapat, “Pengemis adalah orang yang telah melempangkan jalan seorang kaya ke Surga.” Tetapi itulah adanya. Ini memang masih debatable. Namun, siapakah yang menjadi tampak Mulia, jika tidak pernah memberi? Maka, jangan-jangan, Tuhan tidak membuat semua orang menjadi, kaya, cerdas, tapi, juga membuat sebagian orang menjadi, miskin, lemah, bodoh, agar tercipta dan terlihat keseimbangan. Jangan-jangan pulak, bila keseimbangan ada, di situlah ada KEADILAN?

Dulu, ketika saya masih aktif di salah satu Yayasan binaan Penerbit Media Cetak, saya diingatkan oleh seorang kawan, agar tidak terlalu banyak gagasan, ide, atau yang semacam dengan itu. Alasannya, kalau ide yang dilontarkan tidak terealisir, akan membuat malu dan mengurangi kepercayaan orang lain. “Lagi pula, kita jangan terkesan menjadi pengemis atau jangan menjadi capek karena harus mengemis ke sana-sini,” katanya saat itu.

Waktu itu, saya tidak terlalu tanggapi, bahkan lebih tepat, tidak peduli. Saya tidak mungkin membekukan otak, yang tugasnya, memang adalah untuk berpikir terus, dan terus berpikir. Apalagi, sudah saya yakini, kalau berani membuat sesuatu, atau jika ingin menjadi sesuatu, maka tidak mungkin bisa menghindarkan diri, dari menjadi seorang, “pengemis”. Itulah resiko yang harus dipikul.

Analogi dengan keadaan terkini, para peserta Cabup yang bertarung di Pilkada serentak Desember 2015 ini, mau tidak mau, terima tidak terima, pada dasarnya para kandidat akan melakukan pengemisan, yaitu MENGEMIS HATI MASYARAKAT PEMILIH, dengan cara apa pun itu. Mereka yang melakukan pengemisan ini, tentu tidak menjadi terhina, karena tujuannya bukan untuk mendapatkan sekerat daging, sebotol tuak, atau sehelai sarung. Tujuannya jelas, PILIHLAH AKU DAN BUKAN YANG LAIN.

Jadi, tidak usah takut jadi pengemis. Dan tidak perlu malu mengemis. Mengemis bukanlah dosa. Bahkan harus bangga kalau bisa melakukannya, asalkan hasil pengemisan itu tidak dimanipulasi untuk kepentingan diri sendiri, atau bantuan yang sedianya adalah sosial tapi dikerat untuk bisa kawin lagi, atau digunakan belanja-belanja untuk kemakmuran diri-sendiri dan keluarga.
***
(Semoga Bansos di Sumut segera terang benderang. Kiranya di Samosir, tidak terjadi seperti di Propinsi.—AMANLAH Samosirku).
(Rajawali TERLUKA, tanpa peta mengarungi angkasa)
oleh : laris naibaho
----
Cermin jiwaku retak
meski masih dalam bingkai yang utuh
tapi tak lagi nur terpancar dari sana
hanya ada bayangan bibir yang menyiratkan
kepedihan hati yang merintih
...
jangan ikuti jalanku
bahkan bayangku sekalipun
kepakku terluka
mataku telah rabun antara
melihat dan tdk
air mata yang tak berkesudahan
telah merusak jaringan syaraf di kedua kelopak mata ini
...
engkau telah merusak nada-nada symphoni
yang bersemayam puluhan tahun lamanya
interpretasimu kepada kekasih jiwamu
adalah bukti, kau tak setia
padahal cinta telah menautkan janji hati kita
disaksikan malaikat surga
engkau dan aku TIDAK ADA ANTARA
...
(depok 27.07.2015 : 12:11)
U A N G
(oleh : Laris Naibaho)
***
(Edisi Membangun TOILET UNTUK Kaum Duafa)

“Uang tidak bermoral,” titik. Hanya manusialah yang bermoral dari seluruh ciptaan Tuhan. Uang hanyalah benda mati. Harkatnya sama dengan belati, sangkur, kue bolu, kombang layang, dodol, lemper, mie gomak, pangsit, sate, panggang b2, sibagur, naniura dan atau benda-benda lainnya.
Uang tidak dibutuhkan oleh kambing, be-satu (B1), be-dua(B2), kerbau, sapi juga monyet, walaupun sejatinya semua yang tersebut di atas, bisa dijadikan alat atau diobjekkan untuk mendapatkan uang.

Hua haha—mekkel ma jo au. Jadi hanya manusia yang membutuhkan uang. Yah, hanya manusia saja, tanpa kecuali. Maka kalau ada manusia yang anda temui, lalu mengatakan tidak membutuhkan uang, mungkin sudah perlu ditanya lebih dalam, mengapa ybs. tidak membutuhkannya. Karena secara umum, tua-muda, yang bergigi atau yang ompong, wanita atau pria, yang kaya atau miskin, yang merasa suci dan yang mengaku jahat, yah, sekali lagi, ini tanpa kecuali, pasti membutuhkannya. Karena uang itu sudah disepakati manusia sebagai alat tukar, termasuk alat menghitung jumlah kekayaan dan alat untuk segala sesuatunya, termasuk sebagai alat untuk membayar ber-ehem, ehem!

So pasti, uang itu tidak berdosa. Dia hanya sebagai alat. Sebagai alat, berarti uang itu tidak menjadi apa-apa, kalau tidak ada manusia yang mengendalikannya. Harus ada manusia—The men behind UANG. Dan itulah persoalan pokok dalam episode ini, “Siapa di belakang uang itu?”
Sebelum lebih lanjut, saya ingin mengutip sebuah kalimat, yang berbunyi begini, “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang . Dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya.”

Wakakak. Bener deh! Sumpah mati, kutipan ini sungguh-sungguh menohok pikiran saya. Weleh-weleh. Ini bisa jadi sama dan sebangun dengan apa yang dibilang Om saya, “Keingingan memiliki uang bisa diibaratkan seperti meminum air laut. Semakin diminum maka akan semakin dahaga.”

Om—Bapa Uda saya ini, pastilah benar! Meskipun saya melihat, di usianya yang sudah bau tanah, masih juga tak mau bersedekah ke keluarganya, kendati uang dan hartanya angkanya sudah 13 digit. Dia menegaskan pula perbedaan minum air laut dan air tawar. “Air tawar, jika diminyum—logatnya agak lain, karena sudah ompong—maksudnya diminum, bisa membunuh dahaga serta menjadikan tubuh kuat dan berenergi.” Tapi omong doang. Pelit jalan trus.

Kembali ke topik.

Apakah uang berdosa? Jawabannya, pasti tidak. Sekali lagi uang itu hanya benda yang tidak punya pikiran. Dia tidak berdosa.
Hayaa—beginilah Chong Kin Ngauwn kalau lagi heran. Jadi sebenarnya, tidak ada uang haram atau uang halal. Yang ada, adalah sumbernya dan tujuannya; halalkah, atau haramkah?

Ini memang, sangat tergantung juga cara pandang seseorang. Jelimet deh! Karena itu, saya tegaskan—hehehe, emang gue siapa sampai berani menegaskan? Saya tegaskan, hanya mahluk yang punya pikiran saja yang bisa berdosa atau suci. Singkatnya, di muka bumi yang bundar ini, hanya manusia yang bisa dilabeli, seorang yang berdosa atau seorang yang suci.

Uang ada pada kendali manusia. Bukan manusia yang dikendalikan oleh uang. Ini pasti. Jika ada yang protes, nanti saya usahakan membangunkan Socrates, atau muridnya yang baru meraih S3-Filsafat dari Jerman, yang kawan akrabnya F.M, Suseno. Karena itu, persoalan pokoknya adalah “Siapa di belakang uang itu?”

Ini dia.

Kalau si Billok yang punya uang, apalagi banyak, maka pikirannya adalah mencari teman untuk berangkat ke lokalisasi perjudian, semisal, ke High Genting, Malaysia, atau ke Makao, Texas atau tempat lainnya yang ada di luar negeri sana. Maaf, dia terpaksa ke luar negeri karena di Indonesia, berjudi itu tidak boleh. Haram. Tapi kalau kalau korupsi tidak haram, selama tidak ketahuan.

Beda kalau si Tolbok yang punya banyak uang. Dia, bisa dipastikan akan nyabu atau mabok-mabokan. Dan yang paling disukainya adalah “menyewa” gadis-gadis belia sebagai pelampiasan syahwat, atau hanya sekedar nyolak-nyolek. Yang penting hepi…!

Yang menyeramkan—sampai merinding bulu kumisku, kalau si Bikkas yang punya uang. Di otaknya adalah segera berangkat ke ke Libya untuk membeli senjata. Selanjutnya, senjata itu akan dipakai untuk menembaki tetangganya sampai hancur berkeping-keping dan mati. Dendamnya sudah membara. Soalnya, setiap kali dia meminjam uang ke tetangganya itu, tak pernah berhasil. Sudah tidak berhasil, dia selalu disemprot dengan kata-kata yang melukai hati. “Dasar malas. Sudah miskin, malasnya kayak keong bunting, cari suami tambahan.”

Tetapi si Jabaik—ini dia yang membuat penulis masih setia di dunia ini. Setiap kali dia punya uang, yang dilakukannya adalah meminta saudaranya pemilik Catering TABOHIAN, untuk membeli bahan-bahan makanan, memasaknya,  dan kemudian membagi-bagikannya ke kaum dhuafa atau si miskin. Tak mewah-mewah amat memang makanan yang disajikannya, paling juga lauknya sepotong ayam goreng plus tempe yang dioseng-oseng, yang, TETAPI—hehe he, asal tahu saja, makanan seperti itu, jangan salah sangka, merupakan makanan mewah bagi kaum yang, “sebenarnya hidup sudah segan, tapi ogah mati dengan cara bunuh diri.”

Si Jauhum juga begitu. Dia kerja keras setiap harinya. Berangkat pagi hari, baru pulang hampir tengah malam—ini membuat hati trenyuh dan ingin meneteskan air mata tanpa bantuan bawang merah. Uang yang didapatkannya, hanya agar dia bisa membayar SPP anak-anak sekolah dan mahasiswa yang bukan anaknya.

Beda lagi dengan si Japikkir—bukan marga Naibaho, yang selama 67 tahun pontang-panting mengumpulkan uang, pelitnya tidak tanggung-tanggung. Tidak hanya untuk orang lain dia pelit. Termasuk juga kepada dirinya. Buktinya, kalau masih mungkin makan nasi basi kemarin, itu akan dilahapnya untuk memenuhi kebutuhan perutnya, daripada harus membuka dompetnya. Dia akan membela diri, “Perut tidak akan pilah-pilah makanan yang masuk. Enaknya makanan, hanya di bibir dan tenggorokan. Tak sampai hitungan menit. Yang penting, perut kenyang.”

Tapi Anda akan bingung luar binasa, eh, salah ketik, maksudnya bingung luar biasa, jika anda tahu apa rencananya di tahun 2015 ini. Sudah ditetapkannya pergi ke Notaris untuk membuat SURAT WASIAT, bahwa seluruh uang dan hartanya yang lain, akan menjadi milik anjingnya si Bleki. Menjijikkan bukan?—Tubu ma rohakku, mambaen tanggo-tanggo, manang mananggohon si Bleki i daba!

Tapi, mau apalagi? Tidak ada hak saya untuk memprotes. Uang, uang dia. Harta, harta dia. Yah, terserah dialah. Alasannya, sangat sederhana. Orang – orang yang pernah dibantunya, tidak ada yang mengingatnya, bahkan cendrung menyakitinya. Beda katanya dengan si Bleki, yang setia menjilat-jilat pipinya kalau dia hendak tidur, dan menjaganya hingga pagi menjemput, serta, menurut pengakuannya lagi nih, selama ini, si Bleki belum pernah berbohong kepadanya.

Kita lanjutkan…

Tapi sebelum itu, ijinkan saya mengajak anda tersenyum. Senyumlah! Sejenak saja. Tidak usah ragu. Saya tidak bermaksud apa-apa. Tidak juga sedang menghipnotis anda. Saya bukan si Botak, pesulap di layar kaca itu. Bukan. Ajakan ini sekali lagi, bukan untuk apa-apa. Sekiranya anda tidak mau, juga tidak apa-apa. Tapi kelak anda pasti menyesal. Karena senyum tidak ada dandonya—sanksinya. Beda jika anda tertawa, Perarutan Menteri Kesehatan Negara Komedi-Senyum, sudah menetapkan sanksi untuk yang tertawa, kecuali untuk penulis cerita ini. Sorry, di mana-mana pun ada HAK ISTIMEWA. Percayalah, senyum itu bagus bagi kesehatan. Itu kata ahli kesehatan. Dan temanku yang juru rias Megawati dari Salon Martabe, memastikan, “Senyum dapat memperindah letak bibir anda.”

Dengan senyum, apakah saat ini anda punya uang, atau tidak, akan lebih mudah bagi anda untuk membuat rencana secara diam-diam. Katanya, “Seseorang dalam keadaan senyum berarti hatinya sedang ber-bungah, dan pikirannya sangat inspiratif untuk melakukan sesuatu…” Benar atau tidak, ntahlah. Tapi cobalah. Kata Ompungku, Tulangnya Inong dari neneknya yang marpariban dengan neneknya nenek, “Mencoba tidak mengapa. Memberanikan diri janganlah!” Bukankah juga ada encik kita mengatakan—ini dulu, “the experience is the best teacher”. Jadi Senyumlah!
Kini boleh selidiki setelah anda senyum. Periksalah melalui cermin. Kalau anda ibu-ibu, pasti ada terselip cermin kecil ditutup bedak yang ada di tas anda. Kalau anda bapak-bapak, pergilah ke parkiran sebentar, bercerminlah lewat spion mobil atau sepeda motor yang ada di parkiran. Lihatlah! Waooo, mengagumkan!

Akibat senyum tadi, kecuali anda terlihat cantik atau cakep, pun terlihat menjadi sedikit lebih cantik dibandingkan anda cembrut. Otak anda pun menjadi lepas, dan langsung bisa menerawang lebih jauh,

• akan melakukan begini atau begitu kalau punya uang.
Atau
• akan melakukan ini atau itu, supaya punya uang—karena saat ini anda sedang bokek, tongpes atau melarat.
Mengagumkan bukan?

Terserah anda nantinya, akan melakukan apa kalau sudah punya uang. Saya ulangi yang tertulis di atas, "Uang tidak bermoral dan tidak akan pernah berdosa.” Dia hanya sepotong koin atau selembar kertas yang ditaruh angka-angka untuk menunjukkan nilai tukarnya. Anda akan dikatakan kaya atau sangat kaya kalau banyak uang. Sebaliknya disebut miskin, atau sangat melarat, kalau hanya memiliki sedikit uang atau tidak memiliki uang sama sekali. Memang—ini kata tukang protes, bukan kataku, “kaya atau miskin itu, sangatlah relatif”. Soal lainlah itu. Tapi tetap mengajukan pertanyaan kepada anda, dan jujurlah menjawab, tanpa ada pemaksaan dari Hakim—Jaksa—Polisi—Pengacara, (tidak ada gunanya, karena sedang digaruk oleh KPK) :

• Apakah uang itu akan anda pergunakan untuk menyenangkan hati manusia yang berujung pada memuliakan Tuhan?
Atau
• akan anda gunakan untuk menganiaya manusia, yang menyebabkan Tuhan akan menangis?”
Itulah soalnya.

Soal ini penting bagi kita, karena siapa tahu dari kemarin, anda belum tahu harus anda ke manakan jika memiliki uang banyak—Wakakak. Tapi dan ini bukan nasehat, saat ini banyak penipu berkeliaran di luar sana dengan macam-macam modus. Kalau punya uang di Bank dan anda memiliki ATM, jangan beritahu PIN-nya kepada siapa pun, kecuali kepada saya, karena saya tidak mungkin mengambilnya diam-diam. Mengapa? Periksalah dompet atau tas anda, ATMnya masih di sana.
***
 

Jumat, 16 Januari 2015

PANIROI10


Adong hata ni natuatua mandok,

"Parbue ni bosta,
na so marloak bota.
Naingot di hata
na so lupa di tona."
---
Asa hori ma baen doton,  hata ma si ingoton. Di Parpolitikon ma pakke defenisi ni politiki. Alana parpolitik nuaeng, boi do mangadis martabat, laho manuhor martabak. Jala molo dilehon na-Martua i parbinotoan, dang pola i pakkeon mu i mangalitoki  akka na samudar. Songon na hea hudok, molo pareman na tikkos, di luat na asing do ibana jago, jala dihabiari jolma. Dang di hutana. Napaduahon, jolma na umjorbut pangalahona, ima "namanangko dengke sian sisubanna."

Songon igiligil, "Dang boi dua pussu ni te. Sadado." Asing ma naung adong keputusan si Mahkamah Konstitusi."Unang nigulut nasosiguluton. Ikhon botoon do ila. Dang hea boi marganti "Pussu ni te." Alai sistem pengalihan tugas biasana sian ginjang tu toru. Katua Umum, tu Ketua-ketua, molo adong dope. Jala, hudok ma tuho, adong do TONA. Alai songon ni dok ni akka dongan. Alai dang sude pola Tona i pasahatsahaton. Nisigatan, dia ma naporlu patolhason, dia na ingkon lakkopan di bagasan ateate. Ala "Sala di sipata mandok na toho." Ido rasa asa adong sipasingot sian akka natuatua,

"Assimun sibolaon
tokka paboaboaon..."

Alana..."Ikhon pasangapon natoras...." Lapatanna, dang sai sude paboaon akka TONA. Manang boha pe, "Tampulon aek do namarsajabu." Jadi, sipata do denggan pasipon. Asing ma molo ro udan so hasaongan, dohot alogo sohapudian. Ido, asa sai ni jaga papangan, "unang ma jangan".

Ala, " Molo naung pinorsan, pinorsan ma..." manang boha pe, sai adong do gora sian natuatua, "pattang ni na unang". Alai asa botoonmu, ala partigatiga do au, "molo adong manggadis, rade do au manuhor..." Alai saribu hali marpikkir do au manuhor boniaga namambaen "segarusakna", ai manat do au diajar Damang dohot Dainang nahinan :

"Manat unang tartuktuk, dadap unang tarrobung." Jadi, antusi hata on, asa hipas natininggalhon dohot na nieahan. Sae manasae. Nasalpu i, ra boi panunungiranmu. Unang padirgakhu, jala unang pagakgakhu.

Horas. Horas. Horas.

Selamat menyongsong hari Minggu. Mambege jamita marsogot porlu do. Alai lobi umporlu ma mangulahonsa. Alana, halak Parise, jago do mambege dohot mambaritahon, alai namangulahon i do bakkol. Jadi marsiajar mahita mangulahon na tabegei.

Minggu, 04 Januari 2015

Ngalor-Ngidul
(edisi Pilbup)
----

BUDI PEKERTI DAN GENERASI PENERUS SAMOSIR

Kacang ijo melahirkan toge. Tetapi buah semangka tidak mungkin berdaun sirih. Kalau pun ada, itu hanya ada dalam lagunya Broery Pesolima Almarhum. Yang pasti, tikus akan melahirkan bagudung dan kerbau pastilah melahirkan horbo.

Ada memang pepatah, “Jonokdo tubis sian bonana”. Karenanya, “Begitu kelapanya, begitu juga minyaknya. Begitu ayahnya, begitu juga anaknya.

Benarkah?

Ternyata tidak selalu demikian. Dan memang, dalam hal apapun selalu bisa saja ada penyimpangan atau tidak sesuai dengan perkiraan.  Faktanya, ayah para Koruptor yang dijerat KPK saat ini,  bukanlah Koruptor. Bahkan, di antara mereka ada yang orang tuanya, Guru, Pendeta, Pejuang pemberantas kemiskininan dan juga yang sangat ANTI KORUPSI.

Dulu, ini seingat saya. Bila seorang murid berpapasan dengan guru di luar sekolah, maka serta merta sang murid akan mengambil posisi berdiri tegak dan berhenti di tempat, lalu memberi salam hormat kepada Sang Guru. Saya masih ingat betul, bagaimana saya melakukan hal itu kepada Almarhum guru saya, Gurjo, atau Guru Johan Naibaho (mantan Guru Kepala di SD Negeri I, Pangururan) yang lebih dikenal dengan Guru Sangasanga. Bukan karena takut. Tapi pada saat itu, seorang guru memang ditempatkan di Singgasana TERHORMAT

Contoh sederhananya, kalau saya mengadu ke orang tua, bahwa di Sekolah saya dimarahi atau dilissing-dipukul oleh guru, yang saya terima dari orang tua adalah tambahan lissing-lissing yang disertai dengan bentakan, “Dang na oto guru lissingonna ho, anggo dang ala ni pangalahon manang otom. Taon...!” Bayangkan, bagaimana terhormatnya guru saat itu. Sekarang? 

Kini, zaman berubah. Semua serba terbalik. Dan agaknya, saat ini, “gurulah yang takut kepada murid”. Celaka! Mungkinkah karena “Martabat” guru saat ini sudah diukur dengan materi? Ataukah memang, gurunya tidak pantas lagi dihormati karena sikapnya? Saat ini, tidak jarang kita lihat, ntah metode pendidikan apa namanya ini, guru bisa main game bersama dengan muridnya di warung internet (warnet) sambil ngemil coklat. Dan kalau mata beradu, serta hati terajut, tak jarang juga ada yang berlanjut ke pelesiran…

Pepatah ini mungkin tepat, “The good public relation, begin at home—Hal baik dimulai dari rumah”. Hal baik selanjutnya, adalah Sekolah dan pergaulan di masyarakat. Mungkin, karena saat ini para  orangtua lebih sibuk mencari nafkah, maka Sekolah menjadi tempat utama membentuk watak anak. Membentuk watak yang dimaksudkan di sini, ialah agar kelak si anak tidak menjadi seorang yang; pongah, egois, dan bisa berempati, serta toleran kepada sesamanya. 

Menurut beberapa pemikir dan Penggiat Anti Korupsi, dalam diri seorang yang sifatnya, pongah, egois, yang tidak bisa berempati dan toleran kepada sesama, ialah jika di otaknya, yang diikuti dengan perangainya, berupa keinginan yang tidak pernah luntur untuk melakuan KORUPSI. Yang tabiatnya ANGGAR JAGO dan yang tidak merasa malu melanggar HUKUM.

Tidak bisa tidak, dan ini Hukum Alam. Yang tua akan menuju busuk. Yang muda dan hijau akan tumbuh. Seperti penulis misalnya, yang kini sudah mendekati usia pensiun, sudah menuju busuk. Makan kacang, asam urat naik. Makan yang manis-manis, gula darah naik. Makan daging panggang b2 atau b1, kolestrol naik. Artinya, selain rambut menuju putih semua, tubuhpun sudah mulai reong. Dengan keadaan seperti itu, apalagi yang bisa diharapkan?

Harapan adalah doa. Jangan berhenti berharap. Begitu katanya. Konon, hanya orang matilah yang tidak punya pengharapan. Maka, saat ini pun, saya masih berharap, yang muda-muda di SAMOSIR akan tumbuh, dan yang tua—yang semoga sudah matang, sadar, bahwa tidak mungkin melawan usia, dan kelak akan masuk Lobang. Jadi, kalau “The good public relation begin at home” itu benar, mungkinkah, atau barangkali, belumlah terlambat, kalau Budi Pekerti yang dulu menjadi pelajaran utama di SD dan di SMP,  diajarkan kembali, sehingga kelak, ketika mereka sudah pemegang tampuk kepemimpinan di Negara ini, bisa melanjutkan apa yang digagas oleh Joko Widodo, Presiden RI yang fenomenal ini,  yaitu Pemimpin harus ber-PANTANG KORUPSI. Karena, lagi-lagi saya ingin mengatakan, untuk apalah IQ tinggi kalau tidak peduli dengan sesama. Maka meningkatkan EQ, AQ dan juga SQ pada anak-anak di Samosir perlu kita dorong.
*** 

Selamat Tahun Baru, 2015. Pilihlah Bupati yang : 

  • Tidak Pongah
  • Tidak EgoisEGOIS
  •  Yang bisa berempati
  • Yang Toleran
  • Juga harus WASPADA kepada Calon-CALON yang “TOPPU BURJU”

Sabtu, 06 Desember 2014

Untuk Adri Darmadji Woko

Andai aku penyair
Akan kurajut syair indah tentang dirimu
mengenai segala hal, yang pernah kita jalani
dalam kehidupan nyata,
karena dalam sepanjang masa
galaumu, adalah bebanku
dan senyumku adalah bahagiamu


Dulu dan kini sama saja
esok dan lusa, juga tidak berbeda
engkau dan aku, tetap terajut dalam hati yang sama
tetap dalam balutan persahabatan,
dan tetap setia ucapkan : Selamat Natal.

Ah, andai aku seorang penyair
tentu kalimatku akan mengalirkan kata dalam kalimat
yang mengisyaratkan kemurahan hati
karena hatimu dan hatiku satu adanya
***